Probolinggo – Keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo untuk membongkar kubah di kantor dan rumah dinas walikota menuai pertanyaan tajam dari Komisi 3 DPRD Kota Probolinggo.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar bersama Dinas PUPR, Senin (3/3/2025), DPRD menyoroti alasan, urgensi, serta transparansi anggaran yang digunakan dalam pembongkaran tersebut.
Anggota Komisi 3, Eko Purwanto, mempertanyakan dasar hukum serta sumber pendanaan proyek ini. Menurutnya, tanpa perencanaan dan urgensi yang jelas, kebijakan ini berpotensi merugikan aset daerah.
“Kami ingin mengetahui alasan utama pembongkaran ini, apakah ada kajian sebelumnya, serta darimana sumber anggarannya. Jika tidak ada kebutuhan mendesak, ini bisa dianggap sebagai pemborosan anggaran,” tegasnya.
Kepala Dinas PUPR Kota Probolinggo, Setiyo Rini Sayekti, menjelaskan bahwa pembongkaran dilakukan berdasarkan instruksi pimpinan dan tidak ada rencana pembangunan ulang.
Ia juga menegaskan bahwa pembongkaran tersebut tidak melanggar aturan karena hanya mencakup elemen aksesoris bangunan, bukan struktur utama.
“Kami hanya menjalankan perintah. Kubah yang dibongkar merupakan bagian estetika bangunan dan tidak mempengaruhi struktur utama,” jelasnya.
Ia menjelaskan, kubah di kantor dan rumah dinas walikota yang dibongkar itu dibangun pada 2021 dengan total anggaran Rp 85 juta. Dengan rincian di kantor walikota Rp 50 juta dan di rumah dinas Rp 35 juta.
“Untuk pembongkaran menggunakan anggaran pemeliharaan Rp 10 juta. Sementara material bekas bongkaran bisa dijual atua dihibahkan,” bebernya.
Namun, jawaban ini tidak sepenuhnya memuaskan DPRD. Menurut Eko Purwanto, meskipun pembongkaran ini tidak melanggar aturan, tetap diperlukan evaluasi mendalam karena menyangkut estetika kota dan penggunaan anggaran.
“Kalau memang tidak ada urgensi, untuk apa dilakukan pembongkaran? Nilainya mencapai Rp80 juta, jumlah yang tidak kecil. Ini menunjukkan kurangnya perencanaan yang matang,” kritiknya.
Terkait material bekas kubah itu, DPRD mengingatkan agar mekanismenya dilakukan secara transparan agar tidak terjadi penyalahgunaan aset daerah.
“Kalau material bekas ini akan dijual atau dihibahkan, harus ada transparansi dalam prosesnya. Jangan sampai ada kepentingan tertentu yang bermain di dalamnya,” tegas Eko.