Jakarta, – Pemerintah dan DPR RI tengah membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang memungkinkan prajurit aktif menduduki lima jabatan sipil tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer.
Beberapa posisi yang disebutkan dalam RUU ini antara lain Jaksa Agung dan Mahkamah Agung, yang menuai kritik dari berbagai pihak.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali), menilai bahwa pembahasan RUU ini terkesan terburu-buru dan dilakukan secara tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu (15/3/2025).
Ia menegaskan bahwa penempatan prajurit aktif TNI dalam jabatan hukum seperti Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung tidak masuk akal.
“Saya kira itu tidak masuk akal bahwa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung butuh kompetensi hukum yang sangat tinggi, dan TNI tidak dididik untuk ke sana,” ujar Savic Ali di Jakarta Pusat, Minggu (16/3/2025).
Savic mengakui bahwa ada beberapa jabatan sipil yang masih bisa diterima untuk diisi oleh prajurit aktif, seperti Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR Nasional) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Namun, untuk posisi di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, ia menilai hal itu bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik.
“Saya kira ini adalah kemunduran dari semangat good governance, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang demokratis, dan bertentangan dengan spirit reformasi tahun 1998,” tegasnya.
Diketahui, RUU TNI ini masih dalam tahap pembahasan dan mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat.
Kritik utama yang muncul adalah potensi kemunduran reformasi dan risiko tumpang tindih antara militer dan sipil dalam sistem pemerintahan.