Oleh: Redaksi Budaya
Di jantung Kota Kraksaan, pada sebuah malam yang penuh cahaya, waktu terasa melambat. Ribuan orang memadati alun-alun kota, duduk bersisian di antara harum bunga dan gunungan hasil bumi. Tak ada batas usia, agama, atau kasta sosial malam itu—semua menyatu dalam satu tarikan napas yang sama: ruwatan agung, sedekah bumi, upacara budaya yang tak hanya dirayakan… tapi dipercayai.
Malam itu, langit Probolinggo menjadi kanvas untuk sebuah perayaan jiwa: 279 tahun Kabupaten Probolinggo—sebuah usia yang tak sebentar untuk sebuah wilayah yang sejak abad ke-18 telah menjadi simpul pertemuan antara tanah, manusia, dan doa.
Tubuh Sosial yang Bernyawa: Ritus dan Rasa Syukur
Sedekah bumi dalam balutan ruwatan agung bukan sekadar pentas kebudayaan. Ia adalah tubuh sosial yang hidup, warisan purba yang melibatkan lebih dari sekadar nostalgia. Ada nilai spiritual, ada keterhubungan dengan alam, dan ada harapan yang disulam lewat simbol-simbol: tumpeng, gunungan, sesajen, dan tarian.
Tumpeng dipotong oleh Bupati Probolinggo, Gus dr. Mohammad Haris, lalu diserahkan kepada tokoh lintas agama. Gestur sederhana itu menjadi penegasan: bahwa tanah ini bukan milik satu kelompok, melainkan milik semua. Dari Islam hingga Budha, dari tua hingga muda—semua punya hak untuk merayakan dan dilibatkan.
“Ruwatan ini bukan sekadar pelestarian budaya,” kata Gus Haris, “ini adalah cara kita menyucikan ruang bersama, menyatukan identitas sosial, dan memberi makna pada kata pembangunan.”
Tari Joyolelono dan Narasi Kepemimpinan Lokal
Di atas panggung utama, para penari muda membawakan Tari Banjaran Joyolelono, menceritakan perjalanan Kiai Joyolelono—bupati pertama Probolinggo yang konon mengayomi rakyat dengan hati dan laku yang selaras dengan alam. Gerak tubuh para penari bukan sekadar koreografi; ia adalah bahasa tubuh sejarah yang tidak tercetak di buku, tapi hidup dalam ingatan kolektif warga.
Dengan iringan gamelan dan tembang Jawa, Joyolelono menjelma menjadi simbol kepemimpinan yang bukan hanya memerintah, tapi menyatu dalam kehidupan rakyatnya. Penonton—sebagian besar generasi muda—menyaksikan dengan tenang, seolah meneguk pelajaran tentang kepemimpinan yang nyaris punah: yang mengayomi, bukan menguasai.
Gunungan dan Rebutan Berkah
Lima gunungan hasil bumi disusun menjulang. Di dalamnya terselip sayur-mayur, buah-buahan, jajanan pasar, hingga hasil panen terbaru. Masyarakat percaya, siapa pun yang berhasil membawa pulang isi gunungan, akan mendapat berkah dan kemakmuran.
Teriakan riang, peluh yang menetes, dan tawa anak-anak yang ikut berdesakan menghidupkan satu laku spiritual yang berakar kuat dalam budaya agraris Jawa: bahwa rezeki adalah milik bersama, dan bumi adalah ibu yang mesti dihormati.
“Gunungan ini bukan hanya simbol kemakmuran,” ujar Ketua TP PKK Kabupaten Probolinggo Ning Marisa Juwitasari Haris. “tapi juga pengingat bahwa kita bergantung pada alam. Dan bahwa kita hanya bisa makmur bila berbagi.”
Budaya Sebagai Investasi Masa Depan
Gus Haris tidak menampik bahwa tantangan ke depan besar. Kabupaten Probolinggo masih berada di posisi keempat termiskin di Jawa Timur. Tapi di tengah segala keterbatasan, ia menawarkan cara pandang yang berbeda: menjadikan budaya sebagai jantung pembangunan.
“Kita punya Bromo, kita punya Tengger, kita punya Bentar dan Argopuro. Tapi kita juga punya ingatan, punya narasi. Kalau semua ini dirangkai jadi satu cerita besar, maka kita tak hanya menjual pemandangan, tapi juga makna,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Probolinggo tengah menyusun peta jalan untuk mengintegrasikan warisan budaya suku Tengger ke dalam paket wisata internasional. Tujuannya bukan sekadar menarik wisatawan, tetapi memberi panggung bagi komunitas lokal agar bisa bangga dan berdikari melalui tradisi mereka sendiri.
Ke depan, Alun-alun Kraksaan akan direvitalisasi sebagai ruang budaya terbuka—mirip Malioboro di Yogyakarta. Akan ada sentra UMKM, taman edukasi, ruang pertunjukan rakyat, dan jalur pedestrian yang ramah publik. Bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi ruang tempat cultural capital bisa tumbuh dan berkelindan dengan ekonomi rakyat.
Tradisi yang Tak Pernah Usang
Di akhir acara, sebelum langit benar-benar larut, seorang ibu paruh baya yang duduk bersila di dekat panggung berbisik, “Semoga anak cucu saya kelak masih bisa lihat ini. Jangan sampai hilang.” Kalimatnya singkat, tapi dalam. Ia bicara bukan soal acara tahunan, tapi tentang ingatan kolektif, sesuatu yang tak boleh dihapus oleh kemajuan atau globalisasi.
Ruwatan agung malam itu menjadi lebih dari sekadar perayaan hari jadi. Ia adalah ritus penegasan bahwa Probolinggo masih punya akar—akar yang tumbuh dari tanah, menyerap sejarah, dan menghidupi masa depan. Ia menjadi contoh bagaimana sebuah daerah bisa membangun bukan hanya dengan beton dan kabel optik, tapi juga dengan cerita, dengan tarian, dan dengan keyakinan bahwa yang lokal bisa menjadi modal.
Karena pada akhirnya, sebuah peradaban hanya akan bertahan jika ia tahu dari mana ia berasal.