Probolinggo – Ratusan jamaah Tahun Alip Rebo Wage (Aboge) di Kabupaten Probolinggo melaksanakan salat Idul Adha di Musholla Ar Barokah, Desa Leces, pada Rabu, 19 Juni 2024.
Musala ini merupakan pusat aktivitas jemaah Aboge setempat. Sejak usai Subuh, jemaah mulai berdatangan untuk mengikuti salat yang dipimpin oleh Kiai Buri Mariye, tokoh penting Aboge di daerah tersebut.
Salat Idul Adha dimulai sekitar pukul 06.30 WIB dengan penuh khidmat. Tidak ada perbedaan ritual dengan salat Idul Adha pada umumnya. Mengingat jumlah jemaah yang banyak, jamaah pria melaksanakan salat di dalam musala, sedangkan jamaah wanita di halaman musala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tidak ada masalah meskipun kami Idul Adha terlambat dua hari dari yang ditetapkan pemerintah,” tutur Kiai Buri Mariye.
Kiai Buri menjelaskan bahwa perbedaan penetapan hari raya ini, disebabkan oleh perhitungan kalender Aboge yang berbeda. Mereka berpedoman pada kitab Mujarobat atau kitab Jawa Kuno.
Menurutnya, tahun 2024 ini bertepatan dengan tahun Jim Awal (Jumat Pon) 1957 dalam kalender Aboge. Berdasarkan perhitungan tersebut, tanggal 1 Dzulhijah jatuh pada Senin Pon, 19 Juni 2024, sehingga Idul Adha atau 10 Dzulhijah jatuh pada Rabu Pahing, 19 Juni 2024.
Usai salat Idul Adha, jemaah Aboge melanjutkan dengan acara silaturahmi dan tasyakuran di serambi musala. Acara tasyakuran ini diisi dengan kenduri atau makan bersama, yang menambah kehangatan suasana kebersamaan di kalangan jemaah.
Pelaksanaan kurban juga dilakukan setelah tasyakuran, dengan menyembelih dua ekor domba. Daging kurban tersebut kemudian dibagikan kepada para jamaah.
Tradisi ini tidak hanya dilakukan di Desa Leces, tetapi juga tersebar di sejumlah kecamatan lain di Kabupaten Probolinggo, seperti Kecamatan Dringu, Kecamatan Tegalsiwalan, dan Kecamatan Bantaran.
Menurut buku “Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M)” yang ditulis oleh Prof. Ismail Faisal, penganut Islam Aboge atau Alif-Rebo-Wage (A-bo-ge) mengikuti ajaran Raden Rasid Sayid Kuning. Perhitungan Aboge telah digunakan sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama tersebut dari Pajang.
Merujuk penelitian Elva Laily dalam “Srinthil, Pusaka Saujana Lereng Sumbing,” Islam Aboge bukanlah aliran keagamaan tersendiri, melainkan bagian dari keberagaman Islam di Indonesia.
Perayaan Lebaran jamaah Aboge selisih dua hari dengan ketetapan pemerintah, mengikuti pedoman kitab Mujarobat atau kitab Jawa Kuno. Dengan perhitungan ini, setiap hari keagamaan tahun depan sudah diketahui oleh jamaah Aboge.
Misalnya, untuk penetapan 1 Syawal, mereka menggunakan hitungan Waljiro (1 Syawal Siji Loro) yang menetapkan hari pertama pasar kedua, sehingga Idul Fitri jatuh pada hari Rabu Kliwon.
Warga yang mengikuti pedoman kitab Mujarobat ini datang ke musala membawa makanan untuk diberikan kepada tokoh Aboge dan dimakan bersama-sama setelah salat. Mencerminkan kekayaan budaya dan keunikan perhitungan waktu yang masih dipegang teguh oleh jemaah Aboge.