KH. Moh Hasan atau Kiyai Hasan Sepuh Genggong bukan sekadar tokoh agama. Ia adalah sosok yang hidup dalam tutur para ibu, dalam nasihat kiai kampung, dalam ingatan santri yang mencium tanah tempatnya dulu bersujud. Dalam hidupnya, beliau tidak membangun menara gading—tetapi menanam nilai yang hidup dalam keseharian.
Oleh : Fathol Arifin
Di sebuah pagi yang hangat di bulan Syawal, jalanan menuju Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Pajarakan, Probolinggo, dipenuhi langkah kaki. Tidak ada iring-iringan mewah. Hanya wajah-wajah tulus yang membawa doa dan rindu. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri untuk satu hal: mengenang seorang ulama yang, meski telah wafat tujuh dekade lalu, masih hidup dalam hati jutaan umat.
Haul ke-72 KH. Moh. Hasan bin Syamsuddin bin Qoiduddin—yang lebih dikenal sebagai KH. Hasan Sepuh—bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah perayaan cinta yang tak pernah putus, ikrar spiritual yang diteguhkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
“Beliau itu bukan hanya kiai,” ujar seorang jemaah sambil menggenggam mushaf kecil yang lusuh. “Tapi pelita. Yang menerangi jalan, bahkan setelah tiada.”
Dari Sentong ke Genggong: Awal Jejak Seorang Kekasih Allah
Lahir pada 27 Rajab 1259 H (23 Agustus 1843) di Desa Sentong, Krejengan, KH. Hasan tumbuh dalam lingkungan spiritual yang kuat. Ia menapaki jalan ilmu sejak dini, menempuh perjalanan dari Pasuruan ke Bangkalan, lalu ke Mekkah dan Madinah—di mana ia berguru kepada ulama-ulama besar.
Namun, bukan hanya ilmu yang dibawanya pulang, melainkan kerendahan hati, cinta yang luas, dan sikap hidup yang nyaris tanpa cela. Di mata para santri dan masyarakat, KH. Hasan bukan hanya pengajar, tetapi penyembuh. Ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, dan bila bicara, ucapannya terasa menyentuh jiwa.
Dalam banyak kisah, KH. Hasan dikenal sangat menjaga adab. Ia tidak pernah mengambil daun dari pohon tanpa izin. Tidak pernah berkata kasar, apalagi menyakiti. Bahkan dalam kesendiriannya, ia tetap berdzikir, tetap menyebut nama Allah.
“Saya pernah dengar, beliau menyuruh santri mengembalikan telur yang tidak diketahui pemiliknya, meski itu hanya satu,” ujar seorang alumni pesantren yang kini menjadi pengasuh majelis taklim di Situbondo.
Baginya, hidup adalah amanah. Dan amanah adalah perkara akhlak. Karomah beliau bukan pada hal-hal magis, tetapi pada laku hidup yang sangat manusiawi, sangat dekat dengan nilai-nilai profetik.
Ketika Cinta Diterjemahkan Menjadi Dzikir
Dalam haul tahun ini, program “Ngaji untuk Sang Kiai” mencatat capaian spiritual yang luar biasa: 201 kali khataman Al-Qur’an, 5,4 juta bacaan sholawat, dan hampir 2 juta kali pembacaan Surat Al-Ikhlas. Angka-angka ini tidak hanya berbicara tentang kuantitas, tapi tentang kedalaman rindu.
Ribuan orang duduk bersila di halaman Masjid Jami’ Al-Barokah. Sebagian membaca wirid dalam diam. Sebagian lainnya meneteskan air mata saat kisah-kisah keteladanan beliau kembali dibacakan. Suasana terasa sakral, tapi juga hangat—seperti berada dalam pelukan yang tidak tampak.
KH. Hasan wafat pada 1 Juni 1955 (11 Syawal 1374 H), dalam usia 112 tahun. Tapi dalam kematiannya, beliau justru hidup lebih kuat dalam kesadaran umat.
Putranya, KH. Moh. Hasan Saifouridzal, sempat menangis dalam pelukan terakhir, merasa berat menerima amanah besar. Tangis itu bukan sekadar duka, melainkan perpindahan cahaya, dari satu penjaga kepada penjaga berikutnya.
“Haul ini bukan sekadar mengenang,” ujar Bupati Probolinggo dr. Mohammad Haris dalam sambutannya.
“Tapi upaya menyambung sanad rohani. Karena dalam tantangan zaman, kita butuh contoh nyata seperti beliau—yang hidup dalam ilmu, bersandar pada iman, dan berkhidmat kepada umat,” lanjut cicit Kiyai Sepuh tersebut.
NU, Pesantren, dan Spirit Keikhlasan
KH. Hasan juga dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama. Atas perintah langsung Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, beliau menjadi Syuriah pertama NU di Kraksaan. Tapi di luar struktur, Kiai Hasan membentuk NU dalam bentuk yang lebih dalam—yakni nilai cinta, kebersamaan, dan keteguhan pada prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pesantrennya bukan hanya tempat belajar, tapi tempat pulang bagi yang tersesat. Tempat tenang bagi yang gelisah. Hingga kini, Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong tetap menjadi poros spiritual dan sosial bagi ribuan santri dan umat.
KH. Hasan mengajarkan bahwa kekuatan tidak lahir dari suara keras, melainkan dari kesabaran. Bahwa ketokohan bukan soal jabatan, tapi soal pengabdian. Ia adalah penjelmaan cinta yang diam tapi nyata, sederhana tapi dalam.
Dan setiap haul yang digelar bukan hanya untuk mengingat, tapi untuk memperbarui janji. Bahwa nilai-nilai luhur itu tidak akan kita lepaskan. Bahwa dalam hidup yang kian gaduh, kita tetap memilih untuk berjalan dalam sunyi yang terang—seperti beliau dulu mengajarkan. (*)