Probolinggo – Tragedi kematian dua warga akibat pesta minuman keras (miras) oplosan di rumah Kepala Desa Temenggungan, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo, tak hanya menyisakan duka, tetapi juga menggugah tanya besar. Ke mana arah moralitas para pemimpin akar rumput.
Peristiwa memilukan yang terjadi usai tahlilan pada Sabtu malam (26/4/2025) ini bukan sekadar kasus hukum biasa. Lokasi kejadiannya di rumah seorang kepala desa aktif, Muhammad Iqbal Ali menjadi simbol hancurnya nilai keteladanan di tingkat desa. Ironisnya, salah satu korban tewas adalah adik kandung sang kepala desa sendiri.
Kondisi ini membuat publik terhenyak. Jika rumah pemimpin desa saja bisa menjadi arena pesta miras yang merenggut nyawa, bagaimana dengan tempat lain yang jauh dari sorotan.
Ketua PCNU Kota Kraksaan, H. Achmad Muzammil, menyebut kejadian ini sebagai bukti nyata darurat moral yang mengancam stabilitas sosial. “Ini bukan hanya soal miras, tapi tentang krisis kepemimpinan dan runtuhnya nilai-nilai yang seharusnya dijaga oleh para pejabat desa,” tegasnya, Minggu (4/5/2025).
Sementara itu, Ketua PD Muhammadiyah Probolinggo, Sigit Prasetyo, secara lantang menyuarakan kritik. “Seorang kepala desa seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga moral dan akhlak masyarakat, bukan justru menjadi tuan rumah bagi kehancuran itu sendiri.”
Keduanya kompak mendesak aparat penegak hukum untuk tak hanya menyeret pelaku ke meja hijau, tetapi juga membongkar jaringan distribusi miras di Probolinggo. Mereka mendorong DPRD segera membuat Perda khusus pengendalian miras.
Peristiwa ini juga membuka mata bahwa bahaya miras tak lagi tersembunyi. Beberapa bulan sebelumnya, pesta serupa terjadi di kawasan publik Stadion Gelora Merdeka Kraksaan. Kini, ketika tragedi terjadi di rumah pejabat, masyarakat menilai sudah tak ada lagi zona aman dari pengaruh miras oplosan.
Empat korban selamat dari pesta maut itu kini masih menjalani pemeriksaan. Namun yang paling menyedihkan, kepercayaan publik terhadap figur kepala desa juga ikut tercabik.